Jumat, 13 Januari 2012

REMAJA, ALAMAT PALSU, DAN H

Heboh lagu “Alamat Palsu” Ayu Ting-ting hingga kini masih terasa. Seakan tiada henti, berbagai stasiun televisi negeri ini berebut menampilkan Ayu melalui konser-konser musik mereka ataupun melalui liputan selebriti tentang kehidupan sang artis baru ini. Alhasil, masyarakatpun terus disuguhi “alamat palsu” dan penyanyinya sehingga dipastikan hampir semua orang akrab dengan musik atau syair lagu dangdut tersebut.



Kehebohan lagu “alamat palsu” tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa lagu tersebut yang memang mudah dinyanyikan disebabkan musiknya yang renyah, meskipun secara substansial lagu tersebut berisi kesedihan seorang pencinta yang ditipu kekasihnya. Lebih dari itu, menurut penulis lagu ini juga menggambarkan realita dunia percintaan kontemporer yang banyak melibatkan remaja masa kini dengan segala tipu daya dan penghianatan melalui “status palsu” dan “alamat palsu” mereka.
Maraknya “status palsu” dan “alamat palsu” dalam hubungan kasih sayang disebabkan krisis moral dan mental yang menimpa para pelaku percitaan itu sendiri. Dalam kamus percintaan saat ini, seringkali pacaran berlangsung secara kebablasan yang diakibatkan lemahnya kontrol diri sehingga terjadilah pergaulan bebas. Selain itu, menuntut kesetiaan pasangan ibarat meminta sesuatu yang mustahil diberikan. Lihat saja, banyak muda-mudi yang masih pacaran ternyata tidak puas dengan satu pasangan, sehingga mereka menyimpan satu, dua, atau bahkan tiga orang idaman lain (WIL-PIL). Seorang kolega guru penulis di salah satu sekolah menengah atas Ponorogo, mengeluhkan tentang siswinya yang meteng ngganggur (hamil tanpa ada yang dapat diminta pertanggungjawaban), disebabkan seringnya ia berganti pasangan lelaki sehingga tidak jelas dengan siapa ia hamil. Kasus ini tentu bukan satu-satunya, disebabkan banyaknya kejadian yang tidak terungkap.

Banyaknya perceraian keluarga muda juga dipicu oleh hadirnya orang ketiga dan peristiwa perselingkuhan yang melibatkan salah satu diantara mereka. Tayangan reality-show Uya Memang Kuya, seringkali memberikan contoh terhadap hal ini. Dalam detikhealt (1-12-2011), Vera Farah Bararah menyebut survei yang menunjukkan bahwa laki-laki Indonesia rata-rata 5 kali berganti pasangan dan perempuan 2 kali ganti pasangan setelah pertama kali berhubungan seksual. Sementara itu dr Boyke Dian Nugraha, SpOG dalam acara Media talk show: Sexual Wellbeing Global Survey di Restoran Black Cat, Jakarta, Rabu (30/11/2011) menyebut bahwa perselingkuhan menjadi tren yang sering dibanggakan, sehingga jika cowok memiliki banyak pasangan akan dibilang jantan. Angka survey kesetiaan menyebut sekitar 13 persen laki-laki Indonesia tidak setia, sedangkan perempuan Indonesia sebesar 6 persen. Angka ketidaksetiaan laki-laki di Indonesia ternyata lebih besar dari Amerika Serikat yang mencapai 10 persen, dan Inggris yang hanya sekitar 8 persen. Sebuah kenyatan yang memalukan sekaligus memilukan.

Fenomena perselingkuhan dalam hubungan percintaan merupakan hasil dari memudarnya rasa kesetiaan terhadap pasangan, hilangnya rasa kesederhanaan, dan menipisnya rasa qanaah (nrimo) dari hati. Yang muncul kemudian adalah semangat untuk berpetualang dalam cinta dan menggaet sebanyak-banyak kekasih guna mendapat manfaat dan kenikmatan sementara. Padahal di balik semuanya telah menunggu kehancuran keluarga dan hubungan cinta, kerusakan mental, dan munculnya berbagai penyakit kelamin yang berbahaya dan sulit disembuhkan semisal Aids. Meskipun penyakit ini tidak hanya ditularkan oleh hubungan kelamin, tetapi penyebaran melalui media ini tetaplah yang terbesar dan dominan.

Dukungan mudahnya akses informasi dan teknologi memudahkan terjalinnya hubungan pertemanan sosial yang semakin terbuka. Kapan saja dan dimana saja seseoang mengakses twetter, messenger-an, facebook, Bbm-an atau yang lainnya. Update statuspun dilakukan untuk menarik komentar sebanyak-banyaknya meski dengan polesan sana sini ataupun memalsukan informasi. Media-media tersebut juga seringkali dipergunakan untuk menggaet wanita-wanita muda yang iseng, yang ujung-ujungnya adalah pergaulan bebas dan wanitalah yang paling banyak dikorbankan.

Remaja adalah masa transisi menuju pencarian jati diri. Perlu panduan dan pendampingan komprehensif dari para orang tua dan pendidik di sekolah. Konseling tentang bahaya pergaulan bebas, akses pornografi, maupun penggunaan obat-obatan terlarang maupun minuman keras, haruslah menjadi materi pelengkap disamping materi-materi akademik yang dibutuhkan siswa. Penguatan mental dan moral spiritual remaja juga haruslah menjadi prioritas.


Pencegahan terhadap penyebaran HIV seperti diserukan para aktivis adalah dengan anjuran penggunaan kondom saat berhubungan dengan pasangan, menjauhi narkoba, maupun mengurangi stigma dan dikriminasi terhadap Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA). Padahal kesemua hal tersebut tentu hanya merupakan teknik-teknik praktis dan operasional dalam menanggulangi Aids. Sementara hal-hal yang bersifat psikis dan mental hanya bisa dibangun dengan memperteguh keberagamaan para remaja, penyuluhan tentang bahaya teknologi informatika disamping manfaatnya, disamping penyuluhan tentang kesehatan reproduksi dan keharusan menjaganya hingga jenjang pernikahan. Aspek-aspek yang kasat mata ini hendaknya mendapat perhatian yang seimbang dalam rangka membangun kesadaran para remaja dari bahaya HIV, yang selalu diperingati pada 1 Desember. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar